TUNTUTAN SAHABAT DI AKHIR HAYAT
gambar :
Sheikh Zayed Grand Mosque in Abu Dhabi, United Arab Emirates
Jadilah pemaaf ketika kau berkuasa,
pemurah ketika kau susah, mengutamakan kepentingan orang lain ketika kau butuh,
kelak akan sempurnalah keutamaanmu.
Abdullah bin Abbas bercerita, “Menjelang wafatnya Nabi saw., diperintahkannya
Bilal untuk mengumandangkan suara azan. Para sahabat datang berduyun-duyun ke
mesjid Nabawi memenuhi seruan azan itu, meskipun waktu salat belum tiba. Nabi
masuk ke dalam mesjid dan melakukan dua rakaat salat sunat. Kemudian, dia naik
ke atas mimbar dan memulai khotbahnya yang panjang. Beliau ucapkan pujian-pujian
kepada Allah Yang Mahaagung sehingga menggetarkan setiap hati yang mendengarnya
dan memeras air mata orang yang mengikutinya.
Berulang kali Nabi mengucapkan kata-katanya itu, tetapi tidak ada suara yang mau menanggapinya. Siapa gerangan pengikut Muhammad yang akan merasa tega menuntut Nabi saw. Semua sahabat diam termangu. Ada yang terisak isak menangis menyaksikan ketulusan dan keadilan sang Pemimpin agung ini. Mereka tak dapat membayangkan betapa seorang pemimpin yang maha agung dan sudah berkorban segala-galanya demi umatnya, tiba-tiba pada akhir hayatnya dan dalam keadaan badan yang sudah lemah masih menegakkan keadilan seadil-adilnya hatta untuk dirinya sendiri.
Dalam suasana yang hening dan mencekam seperi itu, tiba-tiba Akasyah bin Muhshin berdiri dan memecah kesunyian. “Aku ya Rasulullah yang akan mengajukan tuntutan padamu.”
Mendengar kata-kata Akasyah seperti itu para sahabat yang duduk di sekitar Nabi merasa seakan disambar petir yang menggelegar. Mereka pangling. Kerongkongan mereka tersumbat, tidak dapat berbicara. Jantung mereka berdebar keras seperti mau pecah. Suara tangis mereka saling bersahutan dengan suara tangis dinding-dinding mesjid Nabawi yang ikut menyaksikan peristiwa yang amat mendebarkan itu.
“Biarkan Akasyah mengajukan tuntutannya padaku," kata Nabi menenangkan hadirin. “Aku lebih bahagia apabila aku bisa menunaikannya di dunia ini sebelum tibanya hari kiamat kelak. Wahai 'Akasyah, katakanlah apa yang pernah kulakukan terhadap dirimu sehingga kau berhak membalasnya dariku."
“Ya Rasulullah, peristiwa itu terjadi pada saat perang Badar,” kata Akasyah mengenang. “Waktu itu untaku persis berada di samping untamu. Aku turun dari untaku karena ingin menghampirimu. Tiba-tiba kau angkat kayu penyebat untamu dan kayu itu mengenai bagian belakangku. Aku tidak tahu apakah kaulakukan itu dengan sengaja atau karena ingin menyebat unta itu?“
“Wahai 'Akasyah, Rasul Allah tidak akan mungkin melakukan perbuatan seperti itu dengan sengaja. Tetapi, bagaimanapun kau punya hak untuk membalasnya,” jawab Rasulullah. “Wahai Bilal, pergilah ke rumah Fatimah putriku dan ambil kayu itu di sana,” kata Rasulullah melanjutkan.
Bilal keluar dari mesjid sambil menarik napasnya panjang-panjang. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya kepada putri kesayangan nya ini. Fatimah pasti akan merasa terkejut sekali apabila diketahuinya bahwa ayah dituntut oleh salah seorang sahabatnya. Bukan menuntut harta, melainkan menuntut gishas dengan membalas sebatan Nabi pada punggungnya. Itu pun pada saat-saat akhir hayatnya dan dalam keadaan badan Nabi yang sering sakit-sakitan.
“Wahai Fatimah putri Penghulu alam semesta,” kata Bilal setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam kepada Fatimah. “Nabi meminta sebatang kayu yang dahulunya sering digunakannya untuk menyebat untanya.“
“Untuk apa hai Bilal?“ tanya Fatimah ingin tahu.
“Nabi hendak memberikan kayu itu kepada seseorang yang mau meng qishasnya (membalasnya),” jawab Bilal.
“Wahai Bilal, apakah ada orang yang tega memukul Nabi dengan kayu itu?"
Tanpa perlu menjawab, Bilal meninggalkan rumah Fatimah sambil membawa kayu itu. Sesampainya di mesjid, Bilal memberikan kayu itu kepada Rasulullah yang kemudian diberikannya lagi kepada Akasyah. Abubakar dan Umar menyaksikan kejadian itu dengan penuh keharuan. Mereka berkata, “Wahai Akasyah, kami mau menjadi tebusan Nabi saw. Balaslah kami asal kau jangan balas jasad Nabi saw.”
“Biarkanlah Akasyah wahai Abubakar dan Umar. Sungguh Allah Mahatahu akan kedudukan kalian,” kata Nabi meyakinkan dua sahabat ini.
“Wahai Akasyah, jiwa ini adalah tebusannya Nabi saw. Hatiku tidak dapat menerima apa yang akan kaulakukan terhadap Nabi yang mulia. Ini punggungku dan tubuhku, Pukullah aku dengan tanganmu dan sebatlah aku dengan segala kekuatanmu,” kata Ali pilu.
“Tidak hai Ali,” kata Nabi. “ Sungguh Allah Mahatahu akan niat dan kedudukanmu.”
Hasan dan Husein, dua cucu Nabi yang sangat disayanginya kemudian berdiri dan berkata dengan suara yang lirih, “Wahai "Akasyah, bukankah kautahu bahwa kami adalah cucu Rasulullah saw., darah dagingnya dan cahaya matanya. Mengambil qishas dari kami adalah sama dengan mengambil qishas dari Rasulullah.“
“Tidak hai Hasan dan Husein. Kalian adalah cahaya mata hatiku. Biarkanlah Akasyah melakukan apa yang ingin dilakukannya,” kata Nabi.
“Wahai Akasyah, pukullah aku apabila benar bahwa aku pernah memukulmu,” pinta Nabi kepada “Akasyah.
“Tapi ya Rasulullah, waktu kaupukul aku, saat itu aku tengah tidak memakai baju, “ jawab “Akasyah.
Nabi membuka bajunya dan menelungkup siap untuk diambil qishas dari Akasyah. Para sahabat menangis histeris menyaksikan kejadian itu. Tiba-tiba “Akasyah membuang kayu yang digenggamnya, lalu memeluk dan menempelkan tubuhnya pada tubuh Rasulullah saw. Katanya, “Wahai junjunganku Rasulullah, jiwa ini adalah tebusanmu, hati siapa yang akan tega mengambil qishas darimu. Aku lakukan ini semata-mata berharap badan ini bisa bersentuhan dengan badanmu yang mulia. Dengannya kuharap Allah akan bisa memeliharaku dari sentuhan api neraka.” Nabi kemudian bersabda, “ Ketahuilah bahwa siapa yang ingin melihat penghuni surga maka lihatlah orang ini."
Akasyah bin Muhshin ( Ukasyah bin Mihshan )
Diskusi