DOSA YANG LEBIH BESAR DARI ZINA
Dalam sebuah majlisnya bersama Abu
Dzar, Rasulullah saw. pernah memberi nasihat berikut.
“Wahai Abu Dzar, hindari dari melakukan ghibah (menggunjing) karena dosanya
lebih berat dari melakukan zina”
“Ya Rasulullah, apa itu ghibah?” “Ghibah adalah menyebut-nyebut saudaramu
dengan sesuatu yang tidak dia sukai.”
“Ya Rasulullah, walaupun sesuatu itu ada pada dirinya?” “Ya. Apabila kau
sebut-sebut aibnya, maka kau telah , menggunjingnya, namun apabila kau sebut
aib yang tidak ada pada dirinya, maka kau telah memfitnahnya.”
Tidak jarang memang seorang mukmin
melakukan ghibah, sengaja atau tidak, di hadapan orang yang dihormatinya atau
orang yang tidak dihormatinya karena lidah memang tidak bertulang. Ia bisa
menari-nari tanpa letih. Ia bisa digerakkan oleh tuannya ke mana pun hasrat
tujuannya.
Akan tetapi, orang yang berakal,
kata Ali, adalah orang yang meletakkan lidahnya di bawah kontrol akalnya:
sementara orang yang jahil adalah orang yang meletakkan akalnya di bawah
lidahnya. Orang yang berakal akan berpikir dahulu baru berkata-kata, sementara
orang yang jahil akan berkata dahulu, baru berpikir.
Ketika seseorang datang menjumpai Ali Zainal Abidin dan berkata bahwa si Polan
mencacimu bahkan mengatakan bahwa engkau adalah orang sesat dan pelaku bid'ah,
Zainal Abidin menjawab, “Wahai Polan, engkau tidak memelihara hak teman
semajlismu lantaran menyampaikan omongannya pada kami, dan engkau juga tidak
memelihara hakku sebagai teman semajlismu karena telah menyampaikan kepadaku
sesuatu tentang saudaraku yang tidak kuketahui. Wahai Polan, berhati-hatilah
dari melakukan ghibah karena ia adalah santapan anjing-anjing neraka...”
Ketika “Aisyah mengadukan perihal Shafiah, madunya, kepada Nabi bahwa Shafiah
itu orangnya pendek, begini dan begitu, Nabi saw. menjawab, “Wahai “Aisyah, kau
telah ucapkan kata-kata yang apabila dicampurkan dengan air laut maka ia akan
mengubahnya.”
Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi, pengarang kitab Hayat Al-Shahabah meriwayatkan
sebuah kisah yang terjadi pada diri Khalifah Umar bin Khattab r.a.
“Suatu malam, ketika Umar sedang berjalan bersama Abdullah bin Mas'ud memeriksa
keadaan sekeliling kota Madinah, tiba-tiba matanya memandang suatu cahaya yang
menerangi sebuah rumah. Umar menguntit cahaya itu sehingga ia masuk ke dalam
rumah penghuninya. Astaghfirullah, di rumah itu ada seorang tua yang sedang
meminum arak dan menari-nari dengan pelayan perempuannya. Umar masuk dan
menghardik perbuatan si tua bangka ini.
Katanya, “Wahai Polan, tidak pernah
kusaksikan sebuah pemandangan yang lebih buruk dari ini, seorang tua bangka
yang sudah lanjut usia, tetapi meminum arak dan menari-nari?”
Tuan rumah menjawab, “Wahai Amirul Mukimin, apa yang kaulakukan adalah lebih
buruk dari apa yang kau saksikan. Engkau telah memata-matai privacy orang,
padahal Allah telah melarangnya: dan engkau telah masuk ke dalam rumahku tanpa
seizinku.”
Umar membenarkannya. Dia keluar dari rumah itu dengan rasa amat menyesal atas
perbuatan yang telah dilakukannya. Katanya, “Sungguh akan celakalah Umar
apabila Tuhannya tidak mengampuninya.”
Orang tua ini merasa malu sekali kepada Umar karena kepergok melakukan dosa.
Dia khawatir sang Khalifah akan menghukumnya atau paling tidak akan
mempermalukannya di hadapan publik. Oleh karena itu, lama sekali dia raib dari
majlis Umar. Apakah Umar termasuk dalam katagori orang-orang yang mudah membuka
aib-aib orang lain?
Suatu hari dia datang ke majelis Umar secara sembunyi sembunyi. Dia hanya duduk
di bagian paling belakang sambil menundukkan kepala agar sang Khalifah tidak
melihatnya. Tiba-tiba Umar memanggilnya dengan suara yang agak keras, “Wahai
Polan, mari duduk di sampingku.”
Orang tua ini merasa gemetar. Pikir dirinya pasti akan dipermalukan oleh
Khalifah. Dia tidak bisa menolak. Sebagaimana dia juga tidak akan mungkin bisa
berlari. Dengan wajah yang pucat pasi dia pasrah menghampiri Umar sambil terus
menunduk menyembunyikan rupanya. Umar memaksanya duduk persis di sampingnya.
Kemudian orang tua ini pun menjawab sambil berbisik, “Wahai Amirul Mukminin, demi Allah yang telah mengutus Muhammad sebagai Rasul, sejak saat itu sampai sekarang aku telah tinggalkan semua pekerjaan-pekerjaan munkarku.”
Tiba-tiba Umar bertakbir dengan suara yang agak keras tanpa dipahami maksudnya oleh hadirin yang ada di sekitarnya.
Diskusi